Telah marak
diperbincangkan depresiasi atau penurunan nilai tukar rupiah terhadap valuta
asing yang khususnya terhadap dollar Amerika Serikat (AS). Nilai tukar
merupakan salah satu alat ukur keteguhan perekonomian di suatu negara. biasanya
pula nilai mata uang suatu negara sangat bergantung pada tingkat pertumbuhan
ekonominya. Sejak tahun 1971 negara-negara di dunia telah bersepakat untuk
mengganti emas dengan dollar AS sebagai dasar sistem moneter global. Setiap
kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah AS secara langsung baik tidak
langsung dapat mempengaruhi peredaran dollar AS yang masuk maupun kelaur negara
AS. Mata uang Indonesia merupakan salah satu mata uang dari wilayah Asia yang
memiliki performa terburuk, dan India pun dengan mata uangnya Rupee pernah
mengalami hal yang serupa akan tetapi tinggal Indonesia yang sekarang masih
mengalami hal tersebut. Oleh karena itu , stabilitas nilai tukar mata uang
suatu negara merupakan suatu hal yang sangat penting yang berdampak kepada
tingkat perekonomian negara tersebut.
Sistem pokok nilai tukar valuta asing dapat dibedakan menjadi dua, yaitu sistem
nilai tukar tetap (fixed
exchange rate) dan sistem nilai tukar mengambang (flexible
exchange rate). Perbedaan ini berdasarkan pada besar cadangan devisa dan
intervensi bank sentral yang diperlukan untuk mempertahankan nilai tukar pada
sistem tersebut. Sistem nilai tukar tetap
membutuhkan cadangan devisa yang
sangat besar. Selain
itu, bank sentral
harus berulangkali mengintervensi pasar agar nilai
tukar tetap berada pada
posisi yang dikehendaki. Sebaliknya, sistem nilai
tukar mengambang tidak membutuhkan cadangan devisa. Bank Sentral juga tidak perlu mengintervensi pasar karena nilai valuta asing ditetapkan oleh interaksi antara
permintaan dan penawaran mata uang yang bersangkutan.
Krisis yang melanda
Indonesia pada tahun 1997 telah membawa
banyak dampak perubahan sistem nilai tukar yang
dipakai negara ini yang mana
dari sistem nilai tukar
tetap mengambang (managed floating rate),
menjadi sistem nilai tukar mengambang
bebas (floating exchange
rate) sistem nilai tukar mengambang
bebas ini mempunyai kelebihan dengan tidak perlunya
cadangan devisa yang besar
karena Bank Sentral
tidak harus mempertahankan nilai tukar pada suatu
leve ltertentu. Pergerakan ntukar
mengambang bebas di
pasar dipengaruhi oleh faktor fundamental dan non fundamental.
Faktor fundamental tercermin dari
variabel-variabel
ekonomi makro, seperti pertumbuhan ekonomi, laju inflasi,
cadangan devisa, tingkat suku
bunga, pertumbuhan uang yang beredar,
dan sebagainya. Sementara
itu, faktor non fudamental
antara lain berupa sentimen pasar terhadap perkembangan
sosial politik, faktor psikologi para pelaku pasar dalam memperhitungkan
informasi, atau perkembangan lain dalam menentukan nilai tukar pada setiap perilaku ekonomi
sehari-hari.
Fundamental
perekonomian Indonesia yang kurang baik menjadi faktor mengapa mata uang rupiah
terus mengalami penurunan. Hal itu dibuktikan dengan pertumbuhan Produk
Domestik Bruto (PDB) yang merosot disebabkan kenaikan inflasi, angka konsumsi
domestik yang turun, angka ritel yang jatuh dan sejumlah angka yang meleset
dari prediksi. Kemudian pada saat PDB melemah kebijakan yang dilakukan oleh
Bang Indonesia malah menaikkan suku bunga, memang hal tersebut sedikit berhasil
dan akan tetapi hal tersebut menyebabkan dampak negatif dan positif yang
timbul. Dampak positifnya memang banyak investor asing yang masuk untuk menaruh
modalnya di Indonesia. Namun, dari sisi negatifnya kebijakan tersebut malah
menekan pertumbuhan ekonomi itu sendiri.
Hal seperti itu mungkin
sebagai faktor internal bagi negara Indonesia, akan tetapi faktor-faktor
eksternal pun ikut membuat nilai tukar Indonesia melemah. Kemungkinan
pengurangan paket rangsangan finansial di AS memiliki pengaruh yang paling
besar dalam depresiasi rupiah. Soalnya, modal-modal asing yang memang sudah
menyebar luas mendominasi dana yang ada di darat maupun laut Indoneisa.
Kebijakan-kebijakan baru yang dikeluarkan oleh Federal Reserve (Fed)
seperti program quantitative easingnya yang melakukan paket pembelian
obligasi bulanan demi memperbanyak sirkulasi dollar di pasar dunia sehingga
mengakibatkan suku bunga acuan AS nyaris nol. Hal tersebut tidak hanya
dilakukan oleh AS saja, ada negara seperti Jepang, dan Eropa pun memiliki kebijakan
yang mirip demikian.
Saat Fed mengumkan
bahwa akan mengurangi jumlah pembelian dan mengetatkan kebijakan, para investor
pun panik sehingga dana-dana yang selama ini ditanam darus ditarik. Sebab,
pengetatan kebijakan artinya suku bunga atas dana yang dipinjam oleh investor
pun akan naik. Jadi, untuk menyelamatkan dana, pelaku pasar terssebut memilik
untuk aman dengan menukar uangnya ke dalam mata uang yang aman seperti dollar
AS. Akibatnya, penjualan rupiah sangat marak dilakukan. Apalagi jelang akhir
tahun, para importir harus membayar semua hutang-hutanya mereka dalam bentuk dollar
dan hal tersebut sangat dibebankan untuk negara Importir seperti Indonesia ini.
Oleh : Imam
Perkasa
Kastrad BEM FEM IPB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar