Negara berkembang yang ada di kawasan Benua Asia yang
terletak di tenggara benua ini, senantiasa memiliki problematika yang sangat kompleks.
Sejak 17 Mei 1999, Bank Indonesia memasuki babak baru yang sangat berbeda dari
priode-periode sebelumnya. Babak baru tersebut ditandai dengan diterapkannya
Undang-Undang (UU) No.23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang mereformasi
tujuan dan tugas Bank Indonesia secara lebih jelas dan terfokus, tujuan Bank
Indonesia sesuai dengan pasal 7 undang-undang (UU) No. 23 tahun 1999 adalah
mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Kestabilan nilai tukar yang
dimaksud adalah kestabilan nilai Rupiah terhadap barga barang dan jasa dan
kestabilan nilai rupiah terhadap mata uang Negara lain.
Banyak faktor yang menjadi alasan munculnya depresiasi
rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS) dalam beberapa waktu terakhir ini.
Ada beberapa rangkaian penyebab terjadinya depresiasi melalui faktor eksternal
dan diikuti serangkaian faktor internal. Hal tersebut layak terjadi karena
Indonesia merupakan daya tarik yang sangat kuat sebagai tempat untuk
berinvestasi dan kemudian rendahnya ekspor yang dilakukan oleh negara Indonesia
dibandingkan Impornya sering kita jumpai neraca perdangangan yang defisit. Pada
periode Januari hingga Juni 2013, Perekonomian AS semakin pulih dan terbukti
berada pada level 1,4% dan di prediksi angka tersebut bisa menembus lagi hingga
2,5% di semester kedua 2013 ini. Daya tarik ini dapat menimbulkan para investor
asing yang menaruh modalnya di Indonesia akan “mudik” ke kampung halamannya
karna hal tersebut. Dengan kepastian Ekonomi, Hukum, dan stabilitas politik
yang stabil di Amerika Serikat.
Pengaruh yang ditimbulkan oleh ketidakpastian iklim
investasi seperti upah buruh, cost pressure dari bahan bakar minyak,
demonstrasi dan gejolak politik yang akan segera hadir di tahun 2014 ini
(Pemilu 2014) akan membuat investor luar negeri akan berpikir dua kali untuk
menaruh modalnya di Indonesia karna premi resiko yang ditimbulkan terlalu
tinggi. Defisit neraca perdagangan pula membuat kebingungan di beberapa hal.
Dengan prediksi Indonesia dari tahun lalu sudah mengalami defisit neraca
perdagangan maka kira-kira kita tidak menerima pemasukan lebih berupa mata uang
asing (dollar) atau sering kita katakan sebagai devisa negara. Sedikitnya
devisa negara yang diperoleh maka akan membuat lebih banyak mata uang rupiah
dibandingkan dollar yang beredar di masyarakat.
Jalan keluar yang kami ajukan yaitu dengan pemerintah
harus segera mengkoreksi atau membenahi neraca perdagangan Indonesia yang sudah
ada sekarang untuk stabilitas pertumbuhan perekonomian. Ada beberapa neraca
perdagangan yang negatif dan harus segera dibenahi yaitu pemerintah tidak
mendifersivikasikan komoditas ekspor dan negara tujuan ekpornya. Karena selama
ini komoditas primer atau bahan mentah yang menjadi komoditas utama dalam
ekspor Indonesia. kemudian yaitu pemerintah tidak mengontrol impor bahan baku
penolong yang mencapai 70% dari total impor. Impor bahan baku dilakukan untuk
industri yang akan mengelola dan setelah itu akan di ekspor. Dan kesalahan
terakhir yaitu pemerintah gagal mengendalikan subsidinya terutama pada Bahan
Bakar Minyak (BBM). Subsidi yang dilakukan membuat harga minya di pasar lokal
sangat murah sehinggal membuat masyarakat senang untuk mengkonsumsi banyak BBM
dan sampai melebihi kuota yang tersedia dan mengakibatkan impor pun meningkat
dan efek dari semua itu yaitu neraca perdagangan migas semakin membesar.
Dari sinilah kinerja pemerintah benar-benar dituntut
untuk mengembalikan stabilitas nilai tukar rupiah di kanca dunia. Jelang
pemilihan umum di tahun 2014, styabilitas politik akan sangat berperan baik
secara langsung maupun tidak langsung. Namun, apabila pemerintah gagal atau
tidak sigap dalam menangani baik dampak internal ataupun eksternal yang akan
terjadi, kondisi Indonesia dan nilai rupiah akan lebih buruk dibandingkan
dengan kondisi sekarang dan memungkinkan menjadi yang terburuk di kawasan Asia.
Oleh : Imam
Perkasa
Kastrad BEM FEM IPB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar