Pertanian merupakan jantung pertahanan bagi
ketahanan pangan Indonesia saat ini. Selain itu juga, pertanian adalah
sektor utama penyedia bahan pangan, baik bagi manusiamaupun pakan bagi ternak/hewan
dan ikan yang merupakan bagian dari siklus pertanian itu sendiri. Meninggalkan
sektor pertanian dalam pembangunan nasional, terutama dalam ketahanan
panganakan membawa bangsa ini kepada krisis. Namun, membangun pertanian
Indonesia tanpa komitmen untuk meningkatkan kesejahteraan petani, peternak, dan
nelayan akan membawa bangsa ini kepada krisis keadilan juga. Dari gambaran
krisis ini, terdapat kaitan yang sangat erat antara ketahanan pangan dan
pertanian yang tidak dapat dipisahkan.
Tanpa pertanian yang maju, ketahanan pangan tidak
akan sukses, dan tanpa ketahanan pangan yang baik, bangsa ini akan mengalami
suatu masalah yang sangat serius yaitu kelaparan dan kemiskinan. Tetapi masalah
itu dapat kita selesaikan dengan menjadikan pertanian Indonesia yang menjadi
solusi untuk meningkatkan ketahanan pangan di negara kita. Kesejahteraan petani
yang relatif rendahsaat iniakan sangat menentukan prospek ketahanan pangandi
Indonesia ke depannya. Kesejahteraan tersebut diakibatkan oleh berbagai
faktor yang timbul dan keterbatasan petani, diantaranya yang paling utama
adalah:
a)
Sebagian petani miskin karena memang
tidak memiliki faktor produktif yang mendukung pekerjaan mereka, kecuali tenaga
kerjanya
b)
Luas lahan pertanian yang sempit dan
mendapat tekanan untuk terus terkonversi
c)
Terbatasnya akses terhadap dukungan
layanan pembiayaan dan penyuluhan pertanian
d)
Tidak adanya atau terbatasnya akses
terhadap informasi dan teknologi yang lebih memadai untuk mereka terapkan
e)
Infrastruktur produksi (air,
listrik, jalan, telekomunikasi) yang tidak memadai
f)
Struktur pasar yang tidak adil dan
eksploitatif akibat posisi rebut-tawar yang sangat lemah
g)
Ketidak-mampuan, kelemahan, atau
ketidak-tahuan petani itu sendiri.
Estimasi
kebutuhan pangan yang ideal harus disediakan dan dikonsumsi masyarakat untuk
mencapai gizi seimbang yang dapat diproyeksikan dengan pendekatan interpolasi
linier untuk mencapai Skor PPH 100 pada tahun 2020. Penetepan angka 2020 ini
merupakan kesepakatan yang diambil dan didasarkan atas pertimbangan bahwa setelah
mencapai MDGs (Millenium Development Goals) tahun 2015 (menurunkan kelaparan
sampai setengahnya). Adapun Proyeksi Konsumsi dan Penyediaan Pangan di
Indonesia dengan mengacu PPH pada tahun 2020 disajikan pada tabel berikut ini.
No
|
Kelompok/Jenis
Pangan
|
Konsumsi
|
Penyediaan
|
1
|
Padi-padian
|
-
|
-
|
Beras
|
21.728
|
23.901
|
|
Jagung
|
307
|
337
|
|
Terigu
|
1.961
|
2.158
|
|
Subtotal
Padi-padian
|
23.987
|
26.386
|
|
2
|
Umbi-umbian
|
-
|
-
|
Ubi
Kayu
|
5.242
|
5.767
|
|
Ubi
Jalar
|
1.233
|
1.357
|
|
Sagu
|
222
|
245
|
|
Kentang
|
768
|
845
|
|
Umbi
Lainnya
|
384
|
423
|
|
Subtotal
Umbi-umbian
|
7.850
|
8.635
|
|
3
|
Pangan
Hewani
|
-
|
-
|
Ikan
|
7.512
|
8.263
|
|
Daging
Ruminansia
|
671
|
738
|
|
Daging
Unggas
|
1.103
|
1.214
|
|
Telur
|
2.291
|
2.520
|
|
Susu
|
658
|
724
|
|
Subtotal
Pangan Hewani
|
12.212
|
13.433
|
|
4
|
Sayur
dan Buah
|
-
|
-
|
Sayur
|
14.277
|
15.705
|
|
Buah
|
5.785
|
6.363
|
|
Subtotal
Sayur dan Buah
|
20.062
|
22.068
|
|
5
|
Minyak
dan Lemak
|
<=""
td="">
|
<=""
td="">
|
Minyak
Kelapa
|
906
|
996
|
|
Minyak
Sawit
|
1.233
|
1.356
|
|
Minyak
Lain
|
42
|
47
|
|
Subtotal
Minyak dan Lemak
|
2.181
|
2.399
|
|
6
|
Kacang-kacangan
|
<=""
td="">
|
<="" td="">
|
Kacang
Tanah
|
223
|
245
|
|
Kacang
Kedelai
|
2.533
|
2.786
|
|
Kacang
Hijau
|
227
|
-
|
|
Kacang
lain
|
-
|
-
|
|
Subtotal
Kacang-kacangan
|
3.053
|
3.358
|
|
7
|
Gula
|
-
|
-
|
Gula
Pasir
|
2.248
|
2.472
|
|
Gula
Merah
|
269
|
296
|
|
Sirup
|
-
|
-
|
|
Subtotal
Gula
|
2.617
|
2.878
|
|
8
|
Sayur
dan Buah
|
-
|
-
|
Sayur
|
14.277
|
15.705
|
|
Buah
|
5.785
|
6.363
|
|
Subtotal
Sayur dan Buah
|
20.062
|
22.068
|
|
9
|
Lain-Lain
|
-
|
-
|
Minuman
|
885
|
974
|
|
Bumbu
|
419
|
461
|
|
Lainnya
|
-
|
-
|
|
Subtotal
Lain-Lain
|
1.308
|
1.439
|
*Satuan:
Ton
Sumber
: Badan Ketahanan Pangan, Kementerian Pertanian (2013)
Pada
tabel di atas terlihat, bahwa sepanjang terdapat konvergensi dari jaminan
interpolasi linear ini maka ketahanan pangan nasional tidak akan berkurang.
Namun, masalahnya sekarang adalah masih adanya kekurangan dalam tatanan
distribusi, akses, dan konsumsi dari bahan pangan tersebut. Pada kenyataannya
hal ini sangat sulit untuk diatasi, sehingga menyebabkan kenaikan harga pangan
di pasar sangat pesat dibanding tahun 2007 yang mungkin dipengaruhi oleh faktor
eksternal dan internal juga.
Adapun
faktor eksternal yaitu adanya kenaikan harga pangan di pasar dunia, menurunnya
produksipangan dunia karena perubahan iklim terutama masalah kekeringan di
negara produsen serta menurunnya luas areal panen, pengaruh kenaikan harga
minyak bumi yang menyebabkan ongkos produksi naik, adanya perubahan iklim
global dan konversi komoditas pangan ke bahan bakar nabati, adanya penguasaan
perdagangan biji-bijian oleh beberapa korporasi multinasional, dan masuknya
investor di bursa komoditas. Penyebab faktor internalnya adalah adanya konversi
lahan sawah untuk pemukiman dan industri, luas areal panen hanya mengalami
peningkatan yang sangat kecil (sekitar 1,4 % pada tahun 2008), produktivitas
relatif tetap, margin yang diterima petani untuk tanaman pangan sangat rendah
dibandingkan komoditas hortikultura, dan harga komoditas tanaman pangan yang
relatif rendah.
Pertumbuhan
penduduk Indonesia yang semakin pesat juga dapat mempengaruhi ketahanan pangan
suatu negara. Penduduk Indonesia pada tahun 2035 diperkirakan akan bertambah
menjadi 2 kali lipat dan jumlahnya sekarang, menjadi ± 400 juta jiwa. Dengan
meningkatnya pendidikan dan kesejahteraan masyarakat, terjadi pula peningkatan
konsumsi/kapita untuk berbagai pangan. Akibatnya, dalam waktu 35 tahun yang
akan datang Indonesia memerlukan tambahan ketersediaan pangan yang lebih dari 2
kali jumlah kebutuhan saat ini.
Penduduk
Indonesia 1900 - 2035
Tahun
|
Jumlah
|
1900
1930
1960
1990
2000
2035
|
40 juta
60 juta
95 juta
180 juta
210 juta
400 juta
|
Diawal
abad ke 20, selama 30 tahun penduduk Indonesia bertambah 20 juta jiwa, dan
diawal abad 21, selama 30 tahun penduduk Indonesia bertambah hampir 200 juta
jiwa. Penduduk Indonesia menjadi 5 kali lipat dalam waktu 100 tahun.Akibat
pertumbuhan penduduk yang semakin pesat dan produksi bahan pangan yang menurun
di Indonesia, mengakibatkan Indonesia harus mengimpor bahan pangan dari luar
negeri. Contoh konkritnya adalah kedelai yang diimpor pada tahun 1990-1998
hanya berkisar antara 343.000-541.000 ton, meningkat tajam sejak tahun
1999-20007 menjadi antara 1.133.000-1.343.000 ton.
Impor pangan yang meningkat ke Indonesia ini
sebenarnya terjadi yang paling drastis adalah setelah Indonesia menjadi anggota
World Trade Organizations (WTO) yang mengusung perdagangan bebas
melalui perjanjian multilateral. WTO berdiri tahun 1994 dan Indonesia termasuk
menjadi negara yang paling awal meratifikasi menjadi negara anggota WTO pada
tahun 1995. Melalui aturan Agreement on Agriculture (AOA) dari WTO,
terbukalah pintu Indonesia untuk pasar perdagangan bebas dan neoliberalisme.
Pintu tersebut semakin terbuka, setelah Presiden Soeharto menandatangani Letter
of Intent dengan IMF dan Structural Adjustment Program (SAP)
dengan Bank Dunia pada tahun 1997. Dua paket tersebut mengharuskan Indonesia
harus melakukan privatisasi, liberalisasi, deregulasi sebagai upaya
penyelamatan Indonesia dari krisis ekonomi. Dua paket tersebut ternyata juga
memberi andil turunnya Soeharto setelah 32 tahun berkuasa.
Dampak negatif ini secara umum dialami oleh
jutaan petani di negara-negara berkembang terlepas apakah produk pertanian
mereka. Olehkarena itu mengapa SPI dan seluruh anggota La Via Campesina di 150
organisasi tani di 70 negara menolak rezim perdagangan bebas WTO dan FTA,
karena produk pertanian bukanlah komoditas perdagangan yang menyebabkan
harganya bisa dipermainkan. Sementara akibat perubahan harga tersebut,
pendapatan dan kesejahteraan keluarga petani bisa berubah drastis menuju
kondisi kemiskinan dan kelaparan. Olehkarena itu pula SPI dan La Via Campesina
Karena itu kita menolak impor pangan yang bisa
kita produksi di dalam negeri, dan menolak eksport barang yang bisa diproduksi
di negeri lain. Adapun alasan sebagai berikut, Pertama, impor akan
menyebabkan petani indonesia tidak bisa bersaing dengan harga barang dari luar,
karena kelebihan dari produk satu dari negeri lain. Misal kacang kedelai, kita
tidak akan bisa bersaing dengan impor kacang kedelai dari Amerika Serikat,
Argentina dan Brazil. Di negara-negara tersebut Kedelai ditanam dalam skala
jutaan hektar secara industrial. Demikian juga beras di Vietnam juga ditanam
dalam skala luas yang hasilnya melebihi dari kebutuhan rakyatnya. Disamping itu
pemerintah juga memberikan subsidi kepada petani, sebagai contoh harga kentang
menjadi murah karena pemerintah Bangladesh memberikan subsidi eksport sebesar
20 persen dan Pemerintah, China memberikan dukungan dana yang besar bagi
petaninya.
Kedua, perdagangan bebas juga
menghasilkan variasi model perdagangan berupa transaksi perdagangan yang
didasarkan atas proyeksi permintaan dan penawaran, terkait dengan rencana
investasi. Sebagai akibatnya komoditas menjadi bahan spekulasi atau disebut
dengan komoditas berjangka atau malah yang sifatnya virtual. Dan akhirnya
perdagangan pangan masuk dalam transaksi bursa di London dan New York.
Tercakup dalam hal ini spekulasi dagang melalui aksi penimbunan untuk
menimbulkan kelangkaan produk pertanian sehingga dapat menaikkan harga dan
berlanjut pada meningkatknya keuntungan si penimbun. Terkait dengan penimbunan
tersebut, Menteri Pertanian memberikan sinyalemen bahwa ada penimbunan beras
oleh sejumlah pedagang beras di sejumlah daerah, menyusul menipisnya stok beras
Bulog, spekulasi ini menjadi faktor utama yang mendorong kenaikan harga beras
di pasaran
Kebijakan impor pangan berimplikasi kepada
berpindahnya komoditas pertanian dari sentra produksi ke pasar tujuan yang
memerlukan transportasi jarak jauh antar negara. Konsekuensinya kebutuhan
finansial untuk biaya transportasi, biaya bahan bakar dan biaya-biaya yang
tidak terduga selama perjalanan akan sangat tinggi. Lebih dari itu kemungkinan
biaya yang dibutuhkan untuk mendatangkan beras dari Vietnam ke Jakarta
lebih murah daripada dari Papua – lahan food estate. Tetapi pada sisi
lain, biaya lebih murah mendatangkan beras dari Jawa Tengah atau Lampung. Namun
hal ini tidak dilakukan karena kebijakan perberasan tidak memprioritaskan
sentra padi di kedua daerah tersebut. Keempat. Impor pangan lambat laun akan
menyebabkan hilangnya kebudayaan pangan dari masyarakat lokal. Dan Kelima,
impor pangan akan mengurangi devisa suatu negara.
Di samping kebijakan impor, target ketahanan
pangan (baca: ketersediaan pangan) juga merekomendasikan pangan rekayasa
genetika. Bahkan Pemerintah telah mengeluarkan Permentan nomor 61/2011 yang
mengatur prosedur pengujian, penilaian, pelepasan dan penarikan varietas
rekayasa genetika. Seharusnya Pemerintah jangan bermain-main dengan pangan
rekayasa genetik, teknologi tersebut belum sepenuhnya terjamin dari segi
keamanan pangan dan sudah terbukti merugikan petani skala kecil. Kita harus
mencegah benih rekayasa genetika masuk Indonesia. Ada empat hal yang
menyebabkan benih rekayasa genetik tidak boleh dikembangkan di Indonesia. Pertama, dari aspek keamanan pangan.
Belum ada satu penelitian pun yang menjamin bahwa pangan rekayasa genetik 100
persen aman untuk di konsumsi. Malah dari beberapa riset akhir-akhir ini,
pangan hasil rekayasa genetika menjadi penyebab berbagai penyakit.
Kedua,
dari aspek lingkungan. Di beberapa negara yang mencoba menanam benih rekayasa
genetik terjadi polusi genetik. Lahan-lahan yang bersebelahan dengan tanaman
rekayasa genetik berpotensi untuk tercemar oleh gen-gen hasil rekayasa genetik.
Sehingga petani di sebelahnya yang menanam tanaman non rekayasa genetik bisa
dituduh melanggar hak cipta karena dinilai telah membajak hak cipta perusahaan
benih, padahal persilangan tersebut dilakukan oleh alam. Selain itu, tanaman
rekayasa genetik berpotensi merusak keseimbangan lingkungan di sekitarnya. Hama
dan penyakit tanaman akan lari ke ladang-ladang konvensional sehingga mau tidak
mau petani tersebut harus beralih menjadi pengguna benih rekayasa genetik yang
harganya mahal.
Ketiga,
aspek legal. Belum ada peraturan yang komprehensif mengenai pangan rekayasa
genetik. Memang ada Undang-Undang (UU) Pangan, UU Budidaya tanaman, dan UU
perlindungan varietas tanaman namun belum ada peraturan turunan dari UU
tersebut yang secara rinci mengatur produk pangan rekayasa genetik. Sehingga
implementasinya di lapangan berpotensi merugikan konsumen dan para petani.
Keempat,
aspek pengusaan ekonomi. Berdasarkan pengalaman petani di berbagai negara dan
juga para petani yang pernah menjadi korban percobaan kapas rekayasa genetik di
Sulawesi Selatan, gembar-gembor benih yang dikatakan tahan terhadap serangan hama
dan produktivitasnya tinggi hanya omong kosong. Malah petani di Sulsel yang
beralih ke benih genetik mengalami kerugian besar akibat ketergantungan
penyediaan benih. Tiba-tiba harga benih melambung tinggi dan susah dicari,
sementara itu petani sendiri tidak bisa mengembangkan benih secara swadaya
karena teknologinya sarat modal. Hal ini menyebabkan kerugian yang besar
dipihak petani dan mereka mulai membakar ladang-ladang kapas mereka dan segera
beralih ke produk non transgenik. Petani hanya dijadikan objek untuk
semata-mata keuntungan dagang saja.
Kedaulatan
Pangan adalah konsep pemenuhan pangan melalui produksi lokal. Kedaulatan
pangan merupakan konsep pemenuhan hak atas pangan yang berkualitas gizi baik
dan sesuai secara budaya, diproduksi dengan sistem pertanian yang berkelanjutan
dan ramah lingkungan. Artinya, kedaulatan pangan sangat menjunjung tinggi
prinsip diversifikasi pangan sesuai dengan budaya lokal yang ada. Kedaulatan
pangan juga merupakan pemenuhan hak manusia untuk menentukan sistem pertanian
dan pangannya sendiri yang lebih menekankan pada pertanian berbasiskan keluarga
yang berdasarkan pada prinsip solidaritas bukan pertanian berbasiskan
agribisnis yang berdasarkan pada profit semata. Dalam upaya menciptakan
kedaulatan pangan menuju kepada keamanan pangan yang sejati, pemerintah –
pemerintah haruslah melaksanakan kebijakan – kebijakan yang mempromosikan
keberlanjutan, berlandaskan pada produksi pertanian keluarga, menggantikan
peran industri yang berorientasi pertanian eksport dan juga kebijakan impor
pangan.
Dengan
demikian, kedaulatan pangan sebagai solusi atas ancaman krisis pangan dan
berbagai permasalahan yang diuraikan di atas membutuhkan langkah-langkah
berikut ini:
- Meningkatkan akses sumber-sumber agraria melalui reforma agraria
- Terus mempertahankan Undang-Undang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria sebagai undang-undang yang sangat sentral dalam pelaksanaan Pembaruan Agraria dalam rangka mengimplementasikan konstitusi Indonesia pasal 33 UUD 1945.
- Segera mengeluarkan kebijakan-kebijakan tentang pelaksanaan Pembaruan Agraria di Indonesia seperti dalam bentuk Peraturan Pemerintah tentang Reforma Agraria dan lainnya yang berlandaskan pada UUPA No. 5 tahun 1960 dan UUD 1945.
- Segera selesaikan konflik-konflik agraria dengan membentuk suatu komite penyelesaian konflik agraria yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan sosial bagi rakyat Indonesia.
- Memberikan perlindungan dan memenuhi hak petani atas akses terhadap sumber-sumber agraria, benih, pupuk, tekhnologi, modal dan harga produksi pertanian dengan segera mebuat Undang-Undang Hak Asasi Petani, dan RUU Perubahan UU Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan yang saat ini sedang di bahas di DPR RI.
- Mencabut undang-undang yang tidak memihak kepada Petani, antara lain: ; UU No. 7/2004 tentang sumber daya air, UU No. 18/2004 tentang perkebunan, dan UU 12/1992 tentang sistem budidaya tanaman yang banyak mengkriminalkan petani
- Hentikan pembahasan tentang RUU Pengadaan Tanah untuk Pembangunan karena RUU tersebut potensial digunakan oleh pihak-pihak swasta asing maupun nasional untuk menjadikan tanah sebagai komoditas dan menghidupkan spekulan tanah.
- Pemerintah Indonesia segera memfungsikan Badan Urusan Logistik (BULOG) untuk menjadi penjaga pangan di Indonesia, dengan memastikan pengendalian tata niaga, distribusi dari hasil produksi pangan petani Indonesia, khususnya padi, kedelai, jagung, kedelai, dan minyak goreng. PemerintahIndonesiajuga harus menjadi pengendali seluruh impor pangan yang berasal dari luar negeri.
- Menyusun Visi Pembangunan PertanianIndonesiamenempatkan petani dan pertanian rakyat sebagai soko guru dari perekonomian diIndonesia. Mengurangi peran perusahaan besar dalam mengurus soal pertanian dan pangan, dengan menghentikan proses korporatisasi pertanian dan pangan (food estate) yang sedang berlangsung saat ini.
- Membangun industri nasional berbasis pertanian, kelautan dan keanekaragaman hayatiIndonesiayang sangat kaya raya ini. Sehingga memungkinkan usaha-usaha mandiri, pembukaan lapangan kerja dan tidak tergantung pada pangan impor.
- Menempatkan koperasi-koperasi petani, usaha-usaha keluarga petani, dan usaha-usaha kecil dan menengah dalam mengurusi usaha produksi pertanian dan industri pertanian. Serta menempatkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk mengurusi industri dasar yang berasal dari produk-produk pertanian yang memerlukan permodalan dan industri dalam sekala besar.
- Meneruskan komitmen pemerintah untuk melaksnakan kembali program Go organik 2010 untuk masa-masa selanjutnya, dengan suatu konsep dan implementasi yang komprehensif dalam menerapkan prinsip-prinsip agro ekologis.
- Memberikan peran yang lebih luas kepada petani untuk serta dalam proses implementasi pembangunan yang dilaksakan oleh pemerintah dengan meninjau ulang Permentan No. 273/Kpts/OT.160/4/2007 tentang Pedoman Pembinaan Kelembagaan Petani.
- Mencabut pembebasan impor bea masuk ke Indonesia, terutama impor bahan pangan, dan melarang impor pangan hasil rekayasa genetika (GMO). Untuk jangka panjang harus membangun suatu tata perdagangan dunia yang adil dengan mengganti rezim perdagangan dibawah World Trade Organizations (WTO), dan berbagai Free Trade Agrement (FTA). Sistem distribusi pangan yang liberal mengakibatkan ketidakstabilan dan maraknya spekulasi harga pangan.
- Harus adanya kepastian perlindungan sosial, menjamin pemenuhan pangan, pendidikan, kesehatan bagi semua warga negara, dengan menjamin kepastian kerja dan menghapus sistem upah murah. Menghapuskan UU No.13/2004 yang tidak menjamin kesejahteraan buruh industri dan juga di bidang pertanian dan perkebunan.
- Pemerintah Indonesia dengan segera membuat program khusus menyediakan pangan bagi rakyat miskin, dengan mengutamakan makanan bagi para ibu hamil, menyusui, juga bagi perempuan-perempuan yang berstatus janda, dan tidak memiliki pekerjaan dan juga bagi anak-anak balita.
- Menertibkan database terkait pertanian dan petani yang selalu berpolemik oleh BPS, Kementrian perdagangan dan Kementrian Pertanian yang akibatnya mengeluarkan kebijakan merugikan petani dan bangsa secara umum.
Akhirnya
semua hal tersebut tergantung dari kemampuan dan kemauan atau willingness Pemerintah
dalam mewujudkan kesejahteraan petani, rakyat dan bangsa Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar