Selasa, 05 Agustus 2014

Pembangunan Pertanian Dalam Membenahi Permasalahan Pangan Indonesia



Pertanian merupakan jantung pertahanan bagi ketahanan pangan Indonesia saat ini. Selain itu juga, pertanian adalah sektor utama penyedia bahan pangan, baik bagi manusiamaupun pakan bagi ternak/hewan dan ikan yang merupakan bagian dari siklus pertanian itu sendiri. Meninggalkan sektor pertanian dalam pembangunan nasional, terutama dalam ketahanan panganakan membawa bangsa ini kepada krisis. Namun, membangun pertanian Indonesia tanpa komitmen untuk meningkatkan kesejahteraan petani, peternak, dan nelayan akan membawa bangsa ini kepada krisis keadilan juga. Dari gambaran krisis ini, terdapat kaitan yang sangat erat antara ketahanan pangan dan pertanian yang tidak dapat dipisahkan.

Tanpa pertanian yang maju, ketahanan pangan tidak akan sukses, dan tanpa ketahanan pangan yang baik, bangsa ini akan mengalami suatu masalah yang sangat serius yaitu kelaparan dan kemiskinan. Tetapi masalah itu dapat kita selesaikan dengan menjadikan pertanian Indonesia yang menjadi solusi untuk meningkatkan ketahanan pangan di negara kita. Kesejahteraan petani yang relatif rendahsaat iniakan sangat menentukan prospek ketahanan pangandi Indonesia ke depannya.  Kesejahteraan tersebut diakibatkan oleh berbagai faktor yang timbul dan keterbatasan petani, diantaranya yang paling utama adalah:
a)      Sebagian petani miskin karena memang tidak memiliki faktor produktif yang mendukung pekerjaan mereka, kecuali tenaga kerjanya
b)      Luas lahan pertanian yang sempit dan mendapat tekanan untuk terus terkonversi
c)      Terbatasnya akses terhadap dukungan layanan pembiayaan dan penyuluhan pertanian
d)     Tidak adanya atau terbatasnya akses terhadap informasi dan teknologi yang lebih memadai untuk mereka terapkan
e)      Infrastruktur produksi (air, listrik, jalan, telekomunikasi) yang tidak memadai
f)       Struktur pasar yang tidak adil dan eksploitatif akibat posisi rebut-tawar yang sangat lemah
g)      Ketidak-mampuan, kelemahan, atau ketidak-tahuan petani itu sendiri.
Estimasi kebutuhan pangan yang ideal harus disediakan dan dikonsumsi masyarakat untuk mencapai gizi seimbang yang dapat diproyeksikan dengan pendekatan interpolasi linier untuk mencapai Skor PPH 100 pada tahun 2020. Penetepan angka 2020 ini merupakan kesepakatan yang diambil dan didasarkan atas pertimbangan bahwa setelah mencapai MDGs (Millenium Development Goals) tahun 2015 (menurunkan kelaparan sampai setengahnya). Adapun Proyeksi Konsumsi dan Penyediaan Pangan di Indonesia dengan mengacu PPH pada tahun 2020 disajikan pada tabel berikut ini.

No
Kelompok/Jenis Pangan
Konsumsi
Penyediaan
1
Padi-padian
-
-
Beras
21.728
23.901
Jagung
307
337
Terigu
1.961
2.158
Subtotal Padi-padian
23.987
26.386
2
Umbi-umbian
-
-
Ubi Kayu
5.242
5.767
Ubi Jalar
1.233
1.357
Sagu
222
245
Kentang
768
845
Umbi Lainnya
384
423
Subtotal Umbi-umbian
7.850
8.635
3
Pangan Hewani
-
-
Ikan
7.512
8.263
Daging Ruminansia
671
738
Daging Unggas
1.103
1.214
Telur
2.291
2.520
Susu
658
724
Subtotal Pangan Hewani
12.212
13.433
4
Sayur dan Buah
-
-
Sayur
14.277
15.705
Buah
5.785
6.363
Subtotal Sayur dan Buah
20.062
22.068
5
Minyak dan Lemak
<="" td="">
<="" td="">
Minyak Kelapa
906
996
Minyak Sawit
1.233
1.356
Minyak Lain
42
47
Subtotal Minyak dan Lemak
2.181
2.399
6
Kacang-kacangan
<="" td="">
<="" td="">
Kacang Tanah
223
245
Kacang Kedelai
2.533
2.786
Kacang Hijau
227
-
Kacang lain
-
-
Subtotal Kacang-kacangan
3.053
3.358
7
Gula
-
-
Gula Pasir
2.248
2.472
Gula Merah
269
296
Sirup
-
-
Subtotal Gula
2.617
2.878
8
Sayur dan Buah
-
-
Sayur
14.277
15.705
Buah
5.785
6.363
Subtotal Sayur dan Buah
20.062
22.068
9
Lain-Lain
-
-
Minuman
885
974
Bumbu
419
461
Lainnya
-
-
Subtotal Lain-Lain
1.308
1.439
*Satuan: Ton
Sumber : Badan Ketahanan Pangan, Kementerian Pertanian (2013)
Pada tabel di atas terlihat, bahwa sepanjang terdapat konvergensi dari jaminan interpolasi linear ini maka ketahanan pangan nasional tidak akan berkurang. Namun, masalahnya sekarang adalah masih adanya kekurangan dalam tatanan  distribusi, akses, dan konsumsi dari bahan pangan tersebut. Pada kenyataannya hal ini sangat sulit untuk diatasi, sehingga menyebabkan kenaikan harga pangan di pasar sangat pesat dibanding tahun 2007 yang mungkin dipengaruhi oleh faktor eksternal dan internal juga.
Adapun faktor eksternal yaitu adanya kenaikan harga pangan di pasar dunia, menurunnya produksipangan dunia karena perubahan iklim terutama masalah kekeringan di negara produsen serta menurunnya luas areal panen, pengaruh kenaikan harga minyak bumi yang menyebabkan ongkos produksi naik, adanya perubahan iklim global dan konversi komoditas pangan ke bahan bakar nabati, adanya penguasaan perdagangan biji-bijian oleh beberapa korporasi multinasional, dan masuknya investor di bursa komoditas. Penyebab faktor internalnya adalah adanya konversi lahan sawah untuk pemukiman dan industri, luas areal panen hanya mengalami peningkatan yang sangat kecil (sekitar 1,4 % pada tahun 2008), produktivitas relatif tetap, margin yang diterima petani untuk tanaman pangan sangat rendah dibandingkan komoditas hortikultura, dan harga komoditas tanaman pangan yang relatif rendah.
Pertumbuhan penduduk Indonesia yang semakin pesat juga dapat mempengaruhi ketahanan pangan suatu negara. Penduduk Indonesia pada tahun 2035 diperkirakan akan bertambah menjadi 2 kali lipat dan jumlahnya sekarang, menjadi ± 400 juta jiwa. Dengan meningkatnya pendidikan dan kesejahteraan masyarakat, terjadi pula peningkatan konsumsi/kapita untuk berbagai pangan. Akibatnya, dalam waktu 35 tahun yang akan datang Indonesia memerlukan tambahan ketersediaan pangan yang lebih dari 2 kali jumlah kebutuhan saat ini.


Penduduk Indonesia 1900 - 2035
Tahun
Jumlah
1900
1930
1960
1990
2000
2035
      40 juta
      60 juta
      95 juta
    180 juta
    210 juta
    400 juta
Diawal abad ke 20, selama 30 tahun penduduk Indonesia bertambah 20 juta jiwa, dan diawal abad 21, selama 30 tahun penduduk Indonesia bertambah hampir 200 juta jiwa. Penduduk Indonesia menjadi 5 kali lipat dalam waktu 100 tahun.Akibat pertumbuhan penduduk yang semakin pesat dan produksi bahan pangan yang menurun di Indonesia, mengakibatkan Indonesia harus mengimpor bahan pangan dari luar negeri. Contoh konkritnya adalah kedelai yang diimpor pada tahun 1990-1998 hanya berkisar antara 343.000-541.000 ton, meningkat tajam sejak tahun 1999-20007 menjadi antara 1.133.000-1.343.000 ton.
Impor pangan yang meningkat ke Indonesia ini sebenarnya terjadi yang paling drastis adalah setelah Indonesia menjadi anggota World Trade Organizations (WTO) yang mengusung perdagangan bebas melalui perjanjian multilateral. WTO berdiri tahun 1994 dan Indonesia termasuk menjadi negara yang paling awal meratifikasi menjadi negara anggota WTO pada tahun 1995. Melalui aturan Agreement on Agriculture (AOA) dari WTO, terbukalah pintu Indonesia untuk pasar perdagangan bebas dan neoliberalisme. Pintu tersebut semakin terbuka, setelah Presiden Soeharto menandatangani Letter of Intent dengan IMF dan Structural Adjustment Program (SAP) dengan Bank Dunia  pada tahun 1997. Dua paket tersebut mengharuskan Indonesia harus melakukan privatisasi, liberalisasi, deregulasi sebagai upaya penyelamatan Indonesia dari krisis ekonomi. Dua paket tersebut ternyata juga memberi andil turunnya Soeharto setelah 32 tahun berkuasa.
Dampak negatif ini secara umum dialami oleh jutaan petani di negara-negara berkembang terlepas apakah produk pertanian mereka. Olehkarena itu mengapa SPI dan seluruh anggota La Via Campesina di 150 organisasi tani di 70 negara menolak rezim perdagangan bebas WTO dan FTA, karena produk pertanian bukanlah komoditas perdagangan yang menyebabkan harganya bisa dipermainkan. Sementara akibat perubahan harga tersebut, pendapatan dan kesejahteraan keluarga petani bisa berubah drastis menuju kondisi kemiskinan dan kelaparan. Olehkarena itu pula SPI dan La Via Campesina
Karena itu kita menolak impor pangan yang bisa kita produksi di dalam negeri, dan menolak eksport barang yang bisa diproduksi di negeri lain. Adapun alasan sebagai berikut, Pertama, impor akan menyebabkan petani indonesia tidak bisa bersaing dengan harga barang dari luar, karena kelebihan dari produk satu dari negeri lain. Misal kacang kedelai, kita tidak akan bisa bersaing dengan impor kacang kedelai dari Amerika Serikat, Argentina dan Brazil. Di negara-negara tersebut Kedelai ditanam dalam skala jutaan hektar secara industrial. Demikian juga beras di Vietnam juga ditanam dalam skala luas yang hasilnya melebihi dari kebutuhan rakyatnya. Disamping itu pemerintah juga memberikan subsidi kepada petani, sebagai contoh harga kentang menjadi murah karena pemerintah Bangladesh memberikan subsidi eksport sebesar 20 persen dan Pemerintah, China memberikan dukungan dana yang besar bagi petaninya.
Kedua, perdagangan bebas juga menghasilkan variasi model perdagangan berupa transaksi perdagangan yang didasarkan atas proyeksi permintaan dan penawaran, terkait dengan rencana investasi. Sebagai akibatnya komoditas menjadi bahan spekulasi atau disebut dengan komoditas berjangka atau malah yang sifatnya virtual. Dan akhirnya perdagangan pangan masuk dalam transaksi bursa di London dan New York.  Tercakup dalam hal ini spekulasi dagang melalui aksi penimbunan untuk menimbulkan kelangkaan produk pertanian sehingga dapat menaikkan harga dan berlanjut pada meningkatknya keuntungan si penimbun. Terkait dengan penimbunan tersebut, Menteri Pertanian memberikan sinyalemen bahwa ada penimbunan beras oleh sejumlah pedagang beras di sejumlah daerah, menyusul menipisnya stok beras Bulog, spekulasi ini menjadi faktor utama yang mendorong kenaikan harga beras di pasaran
Kebijakan impor pangan berimplikasi kepada berpindahnya komoditas pertanian dari sentra produksi ke pasar tujuan yang memerlukan transportasi jarak jauh antar negara. Konsekuensinya kebutuhan finansial untuk biaya transportasi, biaya bahan bakar dan biaya-biaya yang tidak terduga selama perjalanan akan sangat tinggi. Lebih dari itu kemungkinan biaya yang dibutuhkan untuk mendatangkan beras dari Vietnam ke Jakarta lebih murah daripada dari Papua – lahan food estate. Tetapi pada sisi lain, biaya lebih murah mendatangkan beras dari Jawa Tengah atau Lampung. Namun hal ini tidak dilakukan karena kebijakan perberasan tidak memprioritaskan sentra padi di kedua daerah tersebut. Keempat. Impor pangan lambat laun akan menyebabkan hilangnya kebudayaan pangan dari masyarakat lokal. Dan Kelima, impor pangan akan mengurangi devisa suatu negara.
Di samping kebijakan impor, target ketahanan pangan (baca: ketersediaan pangan) juga merekomendasikan pangan rekayasa genetika. Bahkan Pemerintah telah mengeluarkan Permentan nomor 61/2011 yang mengatur prosedur pengujian, penilaian, pelepasan dan penarikan varietas rekayasa genetika. Seharusnya Pemerintah jangan bermain-main dengan pangan rekayasa genetik, teknologi tersebut belum sepenuhnya terjamin dari segi keamanan pangan dan sudah terbukti merugikan petani skala kecil. Kita harus mencegah benih rekayasa genetika masuk Indonesia. Ada empat hal yang menyebabkan benih rekayasa genetik tidak boleh dikembangkan di Indonesia. Pertama, dari aspek keamanan pangan. Belum ada satu penelitian pun yang menjamin bahwa pangan rekayasa genetik 100 persen aman untuk di konsumsi. Malah dari beberapa riset akhir-akhir ini, pangan hasil rekayasa genetika menjadi penyebab berbagai penyakit.
Kedua, dari aspek lingkungan. Di beberapa negara yang mencoba menanam benih rekayasa genetik terjadi polusi genetik. Lahan-lahan yang bersebelahan dengan tanaman rekayasa genetik berpotensi untuk tercemar oleh gen-gen hasil rekayasa genetik. Sehingga petani di sebelahnya yang menanam tanaman non rekayasa genetik bisa dituduh melanggar hak cipta karena dinilai telah membajak hak cipta perusahaan benih, padahal persilangan tersebut dilakukan oleh alam. Selain itu, tanaman rekayasa genetik berpotensi merusak keseimbangan lingkungan di sekitarnya. Hama dan penyakit tanaman akan lari ke ladang-ladang konvensional sehingga mau tidak mau petani tersebut harus beralih menjadi pengguna benih rekayasa genetik yang harganya mahal.
Ketiga, aspek legal. Belum ada peraturan yang komprehensif mengenai pangan rekayasa genetik. Memang ada Undang-Undang (UU) Pangan, UU Budidaya tanaman, dan UU perlindungan varietas tanaman namun belum ada peraturan turunan dari UU tersebut yang secara rinci mengatur produk pangan rekayasa genetik. Sehingga implementasinya di lapangan berpotensi merugikan konsumen dan para petani.
Keempat, aspek pengusaan ekonomi. Berdasarkan pengalaman petani di berbagai negara dan juga para petani yang pernah menjadi korban percobaan kapas rekayasa genetik di Sulawesi Selatan, gembar-gembor benih yang dikatakan tahan terhadap serangan hama dan produktivitasnya tinggi hanya omong kosong. Malah petani di Sulsel yang beralih ke benih genetik mengalami kerugian besar akibat ketergantungan penyediaan benih. Tiba-tiba harga benih melambung tinggi dan susah dicari, sementara itu petani sendiri tidak bisa mengembangkan benih secara swadaya karena teknologinya sarat modal. Hal ini menyebabkan kerugian yang besar dipihak petani dan mereka mulai membakar ladang-ladang kapas mereka dan segera beralih ke produk non transgenik. Petani hanya dijadikan objek untuk semata-mata keuntungan dagang saja.
Kedaulatan Pangan adalah konsep pemenuhan pangan melalui produksi lokal. Kedaulatan pangan merupakan konsep pemenuhan hak atas pangan yang berkualitas gizi baik dan sesuai secara budaya, diproduksi dengan sistem pertanian yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. Artinya, kedaulatan pangan sangat menjunjung tinggi prinsip diversifikasi pangan sesuai dengan budaya lokal yang ada. Kedaulatan pangan juga merupakan pemenuhan hak manusia untuk menentukan sistem pertanian dan pangannya sendiri yang lebih menekankan pada pertanian berbasiskan keluarga yang berdasarkan pada prinsip solidaritas bukan pertanian berbasiskan agribisnis yang berdasarkan pada profit semata. Dalam upaya menciptakan kedaulatan pangan menuju kepada keamanan pangan yang sejati, pemerintah – pemerintah haruslah melaksanakan kebijakan – kebijakan yang mempromosikan keberlanjutan, berlandaskan pada produksi pertanian keluarga, menggantikan peran industri yang berorientasi pertanian eksport dan juga kebijakan impor pangan.
Dengan demikian, kedaulatan pangan sebagai solusi atas ancaman krisis pangan dan berbagai permasalahan yang diuraikan di atas membutuhkan langkah-langkah berikut ini:
  1. Meningkatkan akses sumber-sumber agraria melalui reforma agraria
  2. Terus mempertahankan Undang-Undang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria sebagai undang-undang yang sangat sentral dalam pelaksanaan Pembaruan Agraria dalam rangka mengimplementasikan konstitusi Indonesia pasal 33 UUD 1945.
  3. Segera mengeluarkan kebijakan-kebijakan tentang pelaksanaan  Pembaruan Agraria di Indonesia seperti dalam bentuk Peraturan Pemerintah tentang Reforma Agraria dan lainnya yang berlandaskan pada UUPA No. 5 tahun 1960 dan UUD 1945.
  4. Segera selesaikan konflik-konflik agraria dengan membentuk suatu komite penyelesaian konflik agraria yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan sosial bagi rakyat Indonesia.
  5. Memberikan perlindungan dan memenuhi hak petani atas akses terhadap sumber-sumber agraria, benih, pupuk, tekhnologi, modal dan harga produksi pertanian dengan segera mebuat Undang-Undang Hak Asasi Petani, dan RUU Perubahan UU Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan yang saat ini sedang di bahas di DPR RI.
  6. Mencabut undang-undang yang tidak memihak kepada Petani, antara lain: ; UU No. 7/2004 tentang sumber daya air, UU No. 18/2004 tentang perkebunan, dan UU 12/1992 tentang sistem budidaya tanaman yang banyak mengkriminalkan petani
  7. Hentikan pembahasan tentang RUU Pengadaan Tanah untuk Pembangunan karena RUU tersebut potensial digunakan oleh pihak-pihak swasta asing maupun nasional untuk menjadikan tanah sebagai komoditas dan menghidupkan spekulan tanah.
  8. Pemerintah Indonesia segera memfungsikan Badan Urusan Logistik (BULOG) untuk menjadi penjaga pangan di Indonesia, dengan memastikan pengendalian tata niaga,  distribusi dari hasil  produksi pangan  petani Indonesia, khususnya padi, kedelai, jagung, kedelai, dan minyak goreng. PemerintahIndonesiajuga harus menjadi pengendali seluruh impor pangan yang berasal dari luar negeri.
  9. Menyusun Visi Pembangunan PertanianIndonesiamenempatkan petani dan pertanian rakyat sebagai soko guru dari perekonomian diIndonesia. Mengurangi peran perusahaan besar dalam mengurus soal pertanian dan pangan, dengan menghentikan proses korporatisasi pertanian dan pangan (food estate) yang sedang berlangsung saat ini.
  10. Membangun industri nasional berbasis pertanian, kelautan dan keanekaragaman hayatiIndonesiayang sangat kaya raya ini. Sehingga memungkinkan usaha-usaha mandiri, pembukaan lapangan kerja dan tidak tergantung pada pangan impor.
  11. Menempatkan koperasi-koperasi petani, usaha-usaha keluarga petani, dan usaha-usaha kecil dan menengah dalam mengurusi usaha produksi pertanian dan industri pertanian. Serta menempatkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk mengurusi industri dasar yang berasal dari produk-produk pertanian yang memerlukan permodalan dan industri dalam sekala besar.
  12. Meneruskan komitmen pemerintah untuk melaksnakan kembali program Go organik 2010 untuk masa-masa selanjutnya, dengan suatu konsep dan implementasi yang komprehensif dalam menerapkan prinsip-prinsip agro ekologis.
  13. Memberikan peran yang lebih luas kepada petani untuk serta dalam proses implementasi pembangunan yang dilaksakan oleh pemerintah dengan meninjau ulang Permentan No. 273/Kpts/OT.160/4/2007 tentang Pedoman Pembinaan Kelembagaan Petani.
  14. Mencabut pembebasan impor bea masuk ke Indonesia, terutama impor bahan pangan, dan melarang impor pangan hasil rekayasa genetika (GMO). Untuk jangka panjang harus membangun suatu tata perdagangan dunia yang adil dengan mengganti rezim perdagangan dibawah World Trade Organizations (WTO), dan berbagai Free Trade Agrement (FTA). Sistem distribusi pangan yang liberal mengakibatkan ketidakstabilan dan maraknya spekulasi harga pangan.
  15. Harus adanya kepastian perlindungan sosial, menjamin pemenuhan pangan, pendidikan, kesehatan bagi semua warga negara, dengan menjamin kepastian kerja dan menghapus sistem upah murah. Menghapuskan UU No.13/2004 yang tidak menjamin kesejahteraan buruh industri dan juga di bidang pertanian dan perkebunan.
  16. Pemerintah Indonesia dengan segera membuat program khusus menyediakan pangan bagi rakyat miskin, dengan mengutamakan  makanan bagi para ibu hamil, menyusui, juga bagi perempuan-perempuan yang berstatus janda, dan tidak memiliki pekerjaan  dan juga bagi anak-anak balita.
  17. Menertibkan database terkait pertanian dan petani yang selalu berpolemik oleh BPS, Kementrian perdagangan dan Kementrian Pertanian yang akibatnya mengeluarkan kebijakan merugikan petani dan bangsa secara umum.
Akhirnya semua hal tersebut tergantung dari kemampuan dan kemauan atau willingness Pemerintah dalam mewujudkan kesejahteraan petani, rakyat dan bangsa Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar